Selasa, 14 Agustus 2012

biografi singkat soeharto

Biografi Singkat Soeharto


Soeharto adalah Presiden kedua Republik Indonesia. Beliau lahir di Kemusuk, Yogyakarta, tanggal 8 Juni 1921. Bapaknya bernama Kertosudiro seorang petani yang juga sebagai pembantu lurah dalam pengairan sawah desa, sedangkan ibunya bernama Sukirah.

Soeharto masuk sekolah tatkala berusia delapan tahun, tetapi sering pindah. Semula disekolahkan di Sekolah Desa (SD) Puluhan, Godean. Lalu pindah ke SD Pedes, lantaran ibunya dan suaminya, Pak Pramono pindah rumah, ke Kemusuk Kidul. Namun, Pak Kertosudiro lantas memindahkannya ke Wuryantoro.
Soeharto dititipkan di rumah adik perempuannya yang menikah dengan Prawirowihardjo, seorang mantri tani.
Sampai akhirnya terpilih menjadi prajurit teladan di Sekolah Bintara, Gombong, Jawa Tengah pada tahun 1941. Beliau resmi menjadi anggota TNI pada 5 Oktober 1945. Pada tahun 1947, Soeharto menikah dengan Siti Hartinah seorang anak pegawai Mangkunegaran.
Perkawinan Letkol Soeharto dan Siti Hartinah dilangsungkan tanggal 26 Desember 1947 di Solo. Waktu itu usia Soeharto 26 tahun dan Hartinah 24 tahun. Mereka dikaruniai enam putra dan putri; Siti Hardiyanti Hastuti, Sigit Harjojudanto, Bambang Trihatmodjo, Siti Hediati Herijadi, Hutomo Mandala Putra dan Siti Hutami Endang Adiningsih.
Jenderal Besar H.M. Soeharto telah menapaki perjalanan panjang di dalam karir militer dan politiknya. Di kemiliteran, Pak Harto memulainya dari pangkat sersan tentara KNIL, kemudian komandan PETA, komandan resimen dengan pangkat Mayor dan komandan batalyon berpangkat Letnan Kolonel.
Pada tahun 1949, dia berhasil memimpin pasukannya merebut kembali kota Yogyakarta dari tangan penjajah Belanda saat itu. Beliau juga pernah menjadi Pengawal Panglima Besar Sudirman. Selain itu juga pernah menjadi Panglima Mandala (pembebasan Irian Barat).
Tanggal 1 Oktober 1965, meletus G-30-S/PKI. Soeharto mengambil alih pimpinan Angkatan Darat. Selain dikukuhkan sebagai Pangad, Jenderal Soeharto ditunjuk sebagai Pangkopkamtib oleh Presiden Soekarno. Bulan Maret 1966, Jenderal Soeharto menerima Surat Perintah 11 Maret dari Presiden Soekarno. Tugasnya, mengembalikan keamanan dan ketertiban serta mengamankan ajaran-ajaran Pemimpin Besar Revolusi Bung Karno.
Karena situasi politik yang memburuk setelah meletusnya G-30-S/PKI, Sidang Istimewa MPRS, Maret 1967, menunjuk Pak Harto sebagai Pejabat Presiden, dikukuhkan selaku Presiden RI Kedua, Maret 1968. Pak Harto memerintah lebih dari tiga dasa warsa lewat enam kali Pemilu, sampai ia mengundurkan diri, 21 Mei 1998.
Haji Muhammad Soeharto, dipanggil akrab Pak Harto, adalah sosok nama besar yang memimpin Republik Indonesia, selama 32 tahun. Suatu kemampuan kepemimpinan luar biasa yang harus diakui oleh teman dan lawan politiknya (senang atau tidak). Ia menggerakkan pembangunan dengan strategi Trilogi Pembangunan (stabilitas, pertumbuhan dan pemerataan). Bahkan sempat mendapat penghargaan dari FAO atas keberhasilan menggapai swasembada pangan (1985). Maka, saat itu pantas saja ia pun dianugerahi penghargaan sebagai Bapak Pembangunan Nasional.
Namun, akhirnya ia harus meletakkan jabatan secara tragis, bukan semata-mata karena desakan demonstrasi mahasiswa (1998), melainkan lebih akibat pengkhianatan para pembantu dekatnya yang sebelumnya ABS dan ambisius tanpa fatsoen politik.Saat ia baru meletakkan jabatan, ada rumor yang berkembang. Seandainya Pak Harto mendengar hati nurani isteri yang dicintainya, Ibu Tien Soeharto, yang konon, sudah menyarankannya berhenti sekitar sepuluh tahun sebelumnya, pasti kepemimpinnya tidak berakhir dengan berbagai hujatan yang memojokkannya seolah-olah ia tak pernah berbuat baik untuk bangsa dan negaranya.
Ia memang seperti kehilangan ‘inspirasi’ dan ‘teman sehati’ setelah Ibu Tien Soeharto meninggal dunia (Minggu 28 April 1996). Pak Harto bukan pria satu-satunya yang merasakan hal seperti ini. Banyak pria (pemimpin) yang justru ‘kuat’ karena didukung keberadaan isterinya. Salah satu contoh, Bill Clinton mungkin sudah akan jatuh sebelum waktunya jika tak ditopang isterinya Hillary Clinton.
Saat  mahasiswa dan berbagai kelompok masyarakat terus melancarkan demonstrasi meminta Presiden Soeharto dan Wapres BJ Habibie turun serta Golkar dibubarkan. Saat itu, Pak Harto masih terlihat yakin bahwa demonstrasi itu akan surut dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi. Maka pada awal Mei 1998, ia berangkat ke Kairo, Mesir, untuk menghadiri KTT Nonblok. Saat berangkat, di bandara Halim Perdanakusuma, ia dilepas Wakil Presiden BJ Habibie, Fangab Feisal Tanjung, juga Ketua Harian ICMI Tirto Sudiro dan sejumlah menteri lainnya yang sebagian diantaranya kemudian mengkhianatinya.

Sementara, sepeninggal Pak Harto, dalam beberapa hari kemudian, suasana Jakarta semakin mencekam. Selain akibat demonstrasi mahasiswa makin marak, juga tersiar isu terjadi sesuatu misteri dalam tubuh ABRI. Misteri itu diwarnai arah pengelompokan dalam tubuh militer itu. Selain banyak aktivis pro demikrasi ‘hilang’ entah kemana, juga diisukan ribuan anggota militer ‘menghilang’ dari kesatuannya memembawa persenjataan lengkap dan amunisi cadangan.
“Apa yang sesungguhnya sedang terjadi di Indonesia ? ", adalah suatu tanda tanya besar yang harus segera dicari jawabannya. Apakah suatu power game sedang dimainkan di Indonesia? Siapa yang bermain dengan kelompok bersenjata, serta bagaimana peta kekuatan gerakan sipil? Adalah sesuatu yang harus kita analisa bersama,” tulis sebuah majalah ketika itu. Beberapa pertanyaan yang sampai hari ini tetap misterius.
Suasana makin mencekam, pada 12 Mei 1998, akibat terjadinya penembakan mahasiswa di kampus Universitas Trisakti, yang kemudian dikenal sebagai Tragedi Trisakti. Empat orang mahasiswa gugur. Mahasiswa makin ‘marah’. Hampir di seluruh kampus terjadi demonstrasi. Bahkan sebagian mulai keluar dari kampusnya. Bersamaan dengan itu, terjadi pembakaran mobil di sekitar parkir dekat Universitas Trisakti.

Bahkan, 13 Mei 1998, mahasiswa seperti dipancing untuk keluar dari kampusnya. Situasi di Universitas Katolik Atmajaya Jakarta justeru mengundang tanda tanya. Ada sekelompok demonstran yang melempari mahasiswa dalam kampus itu karena mereka tidak keluar dari kampusnya. Para mahasiswa tetap berada dalam kampus dalam suasana berkabung.
Besoknya, 14 Mei 1998, terjadilah malapetaka di Jakarta. Warga keturunan Cina menjadi sasaran. Pertokoan dan pusat-pusat perbelanjaan dibakar. Saat itu, Jakarta seperti tak punya petugas keamanan. Sementara para petinggi ABRI berada di Malang. Di lapangan sangat terasa ada provokator yang menggerakkan. Di beberapa tempat, ada teriakan: “Mahasiswa datang… mahasiawa datang!”

Dalam kondisi chaos itu, rupanya mahasiswa sangat jeli. Tampaknya, mereka menghindari dijadikan kambinghitam. Karena hari itu, dan besoknya, tidak ada demonstrasi mahasiswa yang keluar dari kampusnya. Bahkan ada beberapa mahasiswa yang sebelumnya tidak biasa ikut demonstrasi, memilih tidak pulang dari kampus daripada terjebak di jalan yang penuh kerumunan.
Situasi ini memaksa HM Soeharto pulang lebih cepat dari jadual dari Mesir. Sebelum pulang, beredar isu bahwa ia akan dihadang oleh mahasiswa. Tapi Soeharto tetap pulang, tanpa terjadi penghadangan seperti diperkirakan sebelumnya. Sebelum pulang, di hadapan warga Indonesia di Mesir, ia menyatakan bersedia mundur jika rakyat menghendakinya. Saat itu, ia menegaskan tidak akan menggunakan kekuatan bersenjata melawan mahasiswa dan kehendak rakyat.

“Segala usaha untuk menyelamatkan bangsa dan negara telah kita lakukan. Tetapi Tuhan rupanya berkehendak lain. Bentrokan antara mahasiswa dan ABRI tidak boleh sampai terjadi. Saya tidak mau terjadi pertumpahan darah. Oleh karena itu, saya memutuskan untuk berhenti sebagai Presiden, menurut Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945.“

Setelah mundur, Pak Harto pun menjadi bulan-bulanan caci-maki dan hujatan. Bukan hanya dari orang-orang yang sebelumnya tidak sejalan dengan Pak Harto, melainkan lebih lagi dari para menteri dan tokoh-tokoh Golkar yang selama ini tak sungkan-sungkan melakukan berbagai cara untuk bisa mendekat. " Memang dalam politik tidak ada persahabatan yang kekal, hanya kepentinganlah yang abadi".
Mereka tidak segan-segan memposisikan Pak Harto dan keluarga Cendana ibarat keranjang sampah. Tempat pembuangan semua yang kotor. Bahwa semua kekotoran pada era Orde Baru ditimpakan ke pundak Pak Harto dan keluarganya. Sepertinya, HM Soeharto dan keluarganya sebagai satu-satunya yang melakukan korupsi pada era itu.
Presiden RI Kedua HM Soeharto wafat pada pukul 13.10 WIB Minggu, 27 Januari 2008. Jenderal Besar yang oleh MPR dianugerahi penghormatan sebagai Bapak Pembangunan Nasional, itu meninggal dalam usia 87 tahun setelah dirawat selama 24 hari (sejak 4 sampai 27 Januari 2008) di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP), Jakarta.

Diantara program2 beliau yang sukses :

* Repelita
* Pembangunan yang maju pesat
* Keluarga Berencana
* Klopencapir
* Transmigrasi
* Swasembada Pangan

dan masih banyak lagi , suka atau tidak suka .. ,di akui atau tidak ... kita tidak bisa memungkiri hal itu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar